The Writings

Tulisan, pemikiran, kegelisahan…

Archive for the ‘Budaya’ Category

Imperialisme Amerika Serikat: Bagaimana Ia Dikukuhkan?

with 5 comments

Dian Yanuardy

Awal
Membincangkan imperialisme, sepertinya kita harus mengingat nama Cecil John Rhodes. Seorang pebisnis Inggris di Afrika Selatan yang membangun rel kereta api panjang dan mendirikan negara Rhodesia, yang kini beralih nama menjadi Zambia dan Zimbabwe. Rhodes adalah pecandu kolonialisme dan pendukung berat perluasan imperialisme Inggris di Afrika. Sebabnya, ia percaya bahwa ekonomi dan kesejahteraan dunia akan berjalan lebih baik jika diatur oleh orang-orang Barat yang beradab. Ketika membangun rel kereta api sebagai jalur perdagangan kolonial di Afrika, Rhodes mengungkapkan kata-katanya yang terkenal “demi bintang di langit, dan dunia luas yang di luar jangkauan, jika bisa aku pasti akan menduduki planet lain”. Kehendak untuk memperadabkan dunia lain—atau dalam istilah glorifikatif yang dibuat oleh Rudyard Kipling disebut sebagai “white man’s burden”—dianggap sebagai pemicu utama imperialisme.

Tiga Fase Imperialisme
Sepanjang beberapa dekade, imperialisme telah menjadi bahan perdebatan serius di antara kalangan pemikir dan para pegiat gerakan revolusioner. Beberapa pemikir seperti Hannah Arendt, Eric J. Hobsbawm, dan Vladimir Lenin adalah di antara orang-orang yang tercatat sebagai pemikir-pemikir yang meneorisasikan imperialisme. Seorang penggerak revolusi Rusia, Vladimir Ilyich Lenin mengaitkan antara imperialisme dengan perkembangan kapitalisme. Bagi Lenin, imperialisme adalah tahapan terkini yang tak terelakkan dalam logika perkembangan kapitalisme. Imperialisme lahir dalam suatu krisis kapitalisme di suatu negeri. Agar keluar dari krisis periodiknya, kapitalisme harus keluar untuk mencari pasar baru, mengekspansi batas-batas negara-bangsa untuk mencari lahan, tenaga kerja, dan bahan-bahan mentah untuk produksi kapitalis yang lebih murah. Dalam pandangan Lenin, imperialisme dicirikan oleh lima hal, pertama, konsentrasi kapital, baik dalam bentuk konglomerasi maupun monopoli; kedua, meleburnya kekuasaan kapital finans, industri dan birokrasi; ketiga, ekspor kapital dalam bentuk investasi-investasi industrial; keempat, pembagian ekonomi dunia oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan korporasi transnasional melalui kartel internasional; kelima, pembagian politik dunia oleh negara-negara maju. Meskipun teori Lenin banyak dikritik, tetapi ia telah meletakkan bangunan teori imperialisme yang penting dalam perdebatan selanjutnya, utamanya pengaitannya dengan kapitalisme dan perkembangan kapital finans.
Pendekatan Lenin atas imperialisme itu salah satunya dikritik oleh Samir Amin, seorang Marxis berkebangsaan Mesir. Bagi Samir Amin, imperialisme bukan merupakan tahap, melainkan inheren dalam setiap ekspansi kapitalisme. Sepanjang sejarahnya imperialisme telah memasuki dua fase dan sedang memasuki fase yang ketiga.
Fase pertama terjadi pada masa ekspansi kapital merkantilis Eropa Atlantis yang menghancurkan benua Amerika. Dua aktor utamanya adalah Spanyol dan Inggris. Hasil yang terjadi akibat dari penaklukan kolonialis ini adalah hancurnya peradaban Indian, terjadinya Hispano-Kristenisasi, dan genosida total atas masyarakat Indian, di mana negara Amerika Serikat berdiri di atasnya. Penaklukan ini masih dibumbui oleh kehendak untuk memperadabkan ‘dunia lain’ dengan dalih agama. Imperialisasi tahap pertama ini pada akhirnya melahirkan sejumlah perlawanan seperti pemberontakan kaum budak di Haiti, serta revolusi Meksiko dan Kuba.
Fase kedua terjadi pada masa revolusi industri Inggris yang berujung pada penaklukan Asia dan Afrika. Penundukan kolonial ini berupaya untuk mencari dan membuka ‘pasar baru’ bagi perdagangan Eropa. Cecil Jhon Rhodes adalah salah satu figur pendukung gagasan kolonialisme ini, dengan menyatakan bahwa kolonialisme Inggris di Afrika akan menyebabkan ekonomi Inggris bangkit kembali dan menghindarkan revolusi sosial di dalam negeri. Imperialisme fase kedua ini berakibat pada membesarnya jurang ketidakadilan sosio-ekonomi yang terus dihadapi oleh dunia hingga kini. Jika pada tahun 1800an rasio ketidaksetaraan adalah dua berbanding satu, maka sejak terjadinya kolonialisme hingga saat ini rasio ketidaksetaraan itu menjadi enampuluh berbanding satu, dengan hanya sekitar 20% dari penduduk dunia yang bisa mengambil keuntungan dari sistem yang terjadi saat ini. Sementara 80% lainnya hidup dalam ketidakpastian dan ketidakamanan sosio-ekonomi secara persisten. Imperialisme fase kedua ini menghasilkan perang-perang dunia besar antar kekuatan imperialis untuk mempertahankan koloninya. Namun juga menghasilkan berbagai perlawanan yang terus menentang proyek-proyek imperialis, seperti lahirnya revolusi sosialis di Rusia dan China, dan tumbuhnya berbagai revolusi pembebasan nasional di negara-negara Asia dan Afrika.
Kemerdekaan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika tersebut tidak lantas menghancurkan sistem imperialis itu sendiri. Kekuatan-kekuatan imperialis, yang di antaranya merupakan kekuatan kolonialis lama seperti Belanda, Inggris dan Perancis serta negara kapitalis baru yang muncul pada abad ke-19 seperti Jerman, Amerika Serikat dan Jepang, tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan ‘situasi baru’ ini. Kaum imperialis ini segera mengubah pandangan tradisionalnya bahwa pertumbuhan kapitalis mereka sangat bergantung dari seberapa besar wilayah koloni yang mereka ekspansi. Dengan keunggulan yang dimiliki sebagai negara yang maju, kaya-raya, dan memiliki sumberdaya manusia serta teknologi yang tinggi, mereka segera mengubah modus dominasinya menjadi imperialisme baru, imperialisme tanpa koloni.
Saat ini kita sedang memasuki fase imperialisme ketiga yang ditandai oleh runtuhnya sistem Soviet dan rejim-rejim nasionalis-populis di Dunia Ketiga. Pada dasarnya, tujuan dari imperialisme fase ini masih sama dengan fase-fase sebelumnya, yaitu untuk mengukuhkan dominasi kapital, memperluas dan mengekspansi pasar baru, menjarah sumberdaya agraria, dan melakukan supereksploitasi pada tenaga kerja di negara-negara pinggiran. Berbagai wacana ideologis disiapkan untuk mengukuhkan hegemoni imperialisme tahap ketiga ini, di antaranya dengan menggembar-gemborkan demokrasi, humanitarianisme, hak asasi manusia, pasar bebas dan kesejahteraan, pemerintahan yang bersih dan baik. Tetapi wacana-wacana ini dikerjakan dengan model standar ganda, dan hanya dilakukan demi mempermulus akumulasi kapital oleh negara-negara maju pada negara-negara pinggiran.
Fase ketiga ini juga berhadapan dengan suatu jaman yang dicirikan oleh terjadinya persenyawaan yang halus antara menguatnya kekuasaan ekonomi korporasi dengan globalisasi teknologi, informasi dan pengetahuan. Berbagai fenomena globalisasi seperti: meningkatnya kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional dalam perdagangan global, revolusi informasi dan ilmu pengetahuan, serta munculnya masyarakat yang berbasis jaringan (network society), menguatnya peranan-peranan lembaga keuangan internasional, serta zona-zona perdagangan bebas yang melampaui negara-bangsa, membuat para teoretisi tidak bersepaham satu sama lain dalam memandang tatanan global pada jaman ini. Sebagian mendefinisikan tatanan global ini dengan cara pandang baru, sembari mendeklarasikan suatu jaman ‘pos-imperialis’. Sementara yang lain berpendapat bahwa imperialisme tak pernah berakhir, hanya memakai modus baru dengan motif lama yang tetap sama. Seperti anggur lama yang dituangkan dalam botol baru.

Perdebatan Empire dan Imperialisme
Perdebatan tentang bagaimana memandang tatanan global di kalangan para teoretisi politik terus mengemuka sejak diterbitkannya karya Michael Hardt dan Antonio Negri yang berjudul Empire. Hardt dan Negri meyakini bahwa kita saat ini telah memasuki suatu jaman baru, yaitu jaman pasar bebas yang didorong oleh globalisasi revolusi informasi dan meredupnya negara-bangsa. Pada jaman baru ini, demikian Hardt dan Negri, tak ada lagi imperialisme sebagaimana diangankan oleh para pemikir dependensia, “eksploitasi negara pinggiran oleh negara pusat”. Ini adalah jaman pos-kolonial dan pos-imperialis, dimana kedaulatan negara-bangsa telah digantikan oleh kedaulatan global atau kedaulatan Imperium yang lahir dari gabungan antara “serangkaian kesatuan organisme nasional dan supranasional yang disatukan di bawah suatu logika aturan yang tunggal”, dengan tanpa memiliki hierarki internasional yang jelas.
Konsekuensi dari gagasan Empire yang diusung oleh Hardt dan Negri ini adalah melenyapnya imperialisme. Imperialisme dalam pengertian eksploitasi negara pusat pada negara pinggiran, dan jenis-jenis kolonialisme lama yang berupa pendudukan suatu negara-bangsa oleh negara yang lain telah mati. Negri dan Hardt juga mengumandangkan kematian kolonialisme baru jenis lain, yaitu dominasi ekonomi dan eksploitasi oleh kekuatan industri besar tanpa kontrol politik yang langsung. Kedua penulis itu menyatakan bahwa bentuk-bentuk imperialisme yang berupa pengekangan dan pengendalian yang didasarkan pada kekuatan yang menghomogenisasi pasar dunia pada dasarnya bertentangan dengan logika pasar. Imperialisme, menurut kedua penulis itu, merupakan sebuah mesin global yang menyalurkan, mengkodekan, dan menteritorialisasikan arus pergerakan kapital, dan karenanya akan menghambat suatu arus kapital atau memfasilitasi arus yang lainnya. Sebaliknya, pasar dunia saat ini memerlukan suatu tempat yang nyaman, yang tak-dikodekan dan tak-diteritorialisasikan, untuk pergerakan arus kapital. Karenanya, imperialisme akan berarti matinya arus pergerakan kapital. Syarat utama bagi terbentuknya pasar dunia, menurut Hardt dan Negri, adalah musnahnya imperialisme. Jadi, imperialisme bertentangan dengan logika tatanan global hari ini, dan karenanya praktik imperialisme tak akan tumbuh lagi dan digantikan oleh sejenis kekuasaan imperium baru.
Satu gagasan lain yang juga lenyap akibat dari teorisasi empire ini adalah gagasan tentang Amerika Serikat sebagai suatu negara pusat dari proyek imperialis. Dalam pandangan Hardt dan Negri, tidak ada satu pun negara-bangsa hari ini, tidak pula Amerika Serikat, yang dapat menjadi pusat proyek imperialis. Imperialisme telah berakhir, tak ada satu negara pun dapat menjadi pemimpin dunia saat ini. Saat ini kepemimpinan dunia tidak dipandu oleh negara-bangsa melainkan oleh sejenis rejim Konstitusionalisme yang mengatur bagaimana sebaiknya dunia berjalan. Jika Amerika Serikat bertindak secara unilateral maka, menurut kedua penganut Marxis otonomis itu, hal itu dilakukan bukan dalam kerangka proyek imperialis, atau motif-motif kepentingan nasional, melainkan atas nama kepentingan tatanan imperium global. Hal ini ditunjukkan misalnya dalam keterlibatan Amerika Serikat pada Perang Teluk. Saat itu, George Bush menyebut bahwa tindakan AS itu dilakukan untuk menegakkan tatanan global baru (new global order). Pendeknya, istilah Empire merupakan suatu produk dari pertarungan atas kedaulatan dan konstitusionalisme, dimana konstitusi dari suatu negara bisa dipaksakan untuk menjadi aturan pada level global.
Gagasan Hardt dan Negri ini akhirnya mendapatkan reaksi yang keras dan tajam dari berbagai teoretisi lain, utamanya dari James Petras dan Henry Veltmeyer melalui karyanya Empire With Imperialism. Menurut Petras dan Veltmeyer itu, kesalahan utama dari teorisasi tentang tatanan global dalam gagasan Empire adalah asumsinya bahwa perkembangan dinamika kapitalisme global saat ini ditopang oleh suatu tatanan ekonomi yang otonom, yang hanya diatur oleh pasar dan perusahaan multinasional. Tesis ini, bagi Petras dan Veltmeyer, dianggap cacat sebab mengabaikan peranan negara imperial dalam membentuk perkembangan kapitalisme global, dan mengukuhkan serta mengawetkan sistemnya. Petras dan Veltmeyer lalu mendefinisikan tatanan global saat ini sebagai imperialisme baru demi menunjukkan bahwa dalam isu pasar bebas, globalisasi dan pembangunan dunia saat ini terdapat suatu proyek untuk mendominasi dunia—suatu agenda penundukan rakyat dan negara-negara di seluruh dunia di bawah kepentingan dan kekuasaan negara imperial.
Kekuasaan negara [imperial] di jaman ‘globalisasi’ ini bagi Petras dan Veltmeyer tidaklah lenyap begitu saja, melainkan menjadi komponen esensial dalam ekonomi-politik dunia saat ini. Dengan demikian, Petras dan Veltmeyer masih melihat Amerika Serikat sebagai negara pusat yang mengendalikan proyek imperialis. Bagaimana mungkin, lanjut Petras dan Veltmeyer, kita bisa mengatakan bahwa imperialisme [AS] adalah cerita masa lalu, ketika di jaman ini AS merupakan satu-satunya negara super power dan hegemon, dimana 50% persen di antara 500 perusahaan multinasional terbesar di dunia dimiliki oleh AS, dan Washington merupakan pusat politik dunia yang mungkin untuk mengagresi negara lain seperti terjadi terhadap Iraq dan Afghanistan. Bahkan di tahun-tahun sebelumnya, Amerika Serikat jugalah yang menjadi penopang utama dari sekian perang yang menghancurkan petani, buruh dan rakyat miskin dalam perang-perang di Balkan, Amerika Tengah, Karibia, dan Amerika Latin.
Bagi Petras dan Veltmeyer, adalah naif untuk menyebut bahwa telah terjadi senjakala negara-bangsa dan runtuhnya negara imperial. Sebaliknya, dalam dunia global kontemporer, peranan negara imperial untuk mengukuhkan dominasinya malah semakin meningkat. Negara justru menjadi elemen sentral dalam pembangunan ekonomi global saat ini. Dalam beberapa tahun terakhir, peranan negara imperial, utamanya AS, dalam menopang sistem dan aktivitas ekonomi, politik, dan kebudayaan dunia sangat meningkat. Sebagai contoh, pada tahun 1994, ketika Meksiko mengalami krisis keuangan, AS telah melakukan intervensi untuk menyelamatkan perusahaan multinasional dan mencegah kollapsnya sistem finansial dengan memberikan $20 milliar untuk menalangi investor Amerika Serikat dan menstabilisasi peso. Begitu juga selama krisis di Asia, melalui Bank Dunia dan IMF, Amerika Serikat menyetujui penalangan utang, dan sebagai gantinya mengambilalih industri-industri penting dan mengekspansi pasar Asia. Dengan memiliki sumberdaya finansial dan kekuasaan yang besar, negara imperial seperti AS memiliki peranan dominan dalam mengelola krisis negara lain, menyelamatkan sebagian besar investor dan perusahaan multinasional dari kebangkrutan, dan mencegah krisis sistem finansial untuk kemudian membuatnya menjadi dasar bagi kepentingan ekonominya sendiri. Jadi, perusahaan-perusahaan multinasional dan kapitalisme global saat ini amat sangat bergantung pada intevensi massif dan konstan dengan kekuatan ekstra-ekonominya, yakni negara-negara imperial, untuk menanggulangi krisis dan menjamin keuntungan dari penjarahan terhadap industri-industri lokal.
Dalam jaman globalisasi ini peranan negara [imperial] semakin meningkat, utamanya dalam melakukan ekspansi pasar ke luar wilayah dan melindungi pasar lokal. Amerika Serikat, meskipun mendaku sebagai pendukung utama pasar bebas, justru menyediakan subsidi langsung dan tak langsung pada pertaniannya, dalam bentuk subsidi air dan listrik, dan subsidi langsung dalam bentuk keringanan pajak. Sementara, negara-negara imperial melalui Lembaga Keuangan Internasional memaksa negara-negara dunia ketiga penerima utang untuk melakukan Program Penyesuaian Struktural yang membuat mereka melakukan privatisasi, denasionalisasi, dan liberalisasi pasar, yang dengan demikian memberi jalan lega bagi negara-negara imperial seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang mempenetrasi dan mengekspansi pasar. Karenanya, tanpa ragu lagi Petras dan Veltmeyer menyebut globalisasi dan tatanan global saat ini dengan sebutan yang lebih tegas, imperialisme abad 21.
Dua fitur gagasan ini mewarnai perdebatan kalangan intelektual tentang bagaimana hakikat tatanan ekonomi-politik global saat ini. Dalam karya Chomsky, Neo-Imperialisme Amerika Serikat (Resist Book: 2008), kita mendapatkan pandangan Chomsky yang segaris dengan Petras dan Veltmeyer yang menyatakan bahwa Amerika Serikat adalah negeri imperialis yang berupaya menundukkan negara-negara lain melalui teror, eksploitasi ekonomi dan dominasi. Hanya saja, dalam arti penting dalam karya Chomsky tersebut bukan hanya membedah praktik-praktik dan strategi-strategi imperialisme AS di luar negeri, melainkan membedah pertanyaan imperialisme (imperialism question) lain yang tak kalah pentingnya: bagaimana imperialisme AS dikukuhkan di dalam negeri? Jika imperialisme AS sedemikian kejamnya, mengapa ia tak mendapatkan perlawanan dan pertentangan di dalam negerinya sendiri? Apa strategi yang dipakai oleh kelas berkuasa di Amerika Serikat untuk menjinakkan warganya sendiri, sebelum kemudian menundukkan negara lain? Pertanyaan ini menjadi penting, sebab ia akan menguak bagaimana ideologi imperialistik ditanamkan baik secara hegemonik (by consent) maupun melalui mekanisme interpelasi ideologis yang tak disadari (by profoundly unconscious); serta untuk memahami apa prasyarat-prasyarat yang mesti diciptakan oleh setiap kekuasaan untuk melakukan hegemoni, dominasi dan eksploitasi.

Aparatus Ideologis: Penyangga Imperialisme AS
Noam Chomsky yang dilahirkan di Amerika 7 Desember 1928 adalah seorang pakar linguistik, pengarang buku, sekaligus aktivis politik. Ia juga dikenal sebagai seorang penganut anarkhis dan intelektual yang berada dalam spektrum sosialis-libertarian. Chomksy memang dikenal sebagai pemuja nilai-nilai Pencerahan awal, yang baginya merupakan paduan dari dua dasar yang disukainya, yaitu sosialisme-anarkhis dan liberalisme. Dalam dunia politik, Chomsky dikenal sebagai seorang pembangkang: seorang warga negara Amerika yang sangat tidak menyukai politik imperialis Amerika; seorang Yahudi yang membenci Zionisme Israel. Chomsky pernah dipenjara akibat aksi demonstrasi di Pentagon dan Departemen Kehakiman. Norman Mailer seorang kawan satu selnya, menuliskan kesannya tentang Chomsky: “si ramping yang berpikiran tajam dengan ekspresi seperti pertapa dan lembut seperti angin sepoi, tetapi mempunyai integritas moral yang mutlak”. Sejak memutuskan untuk terjun dalam dunia politik, Chomksy secara konsisten menulis artikel-artikel, buku, pamflet dan berbagai publikasi ilmiah. Karya-karya intelektualnya di bidang politik banyak mengkritisi tentang demokrasi Amerika, imperialisme, media massa, dan dominasi kapitalisme.
Nama Chomsky semakin ‘kontroversial’, ketika suatu kali dalam sidang di PBB, Presiden Venezuela Hugo Chavez, mengangkat salah satu karya Chomsky, Hegemony and Survival, dan mengatakan:

“Pertama-tama, saya anjurkan kepada hadirin semua untuk membaca karya Chomsky ini, salah seorang intelektual prestisius di Amerika dan dunia saat ini… ini karya yang sangat baik untuk menjelaskan pada kita apa yang telah terjadi selama abad 20 kemarin, apa yang terjadi saat ini, dan apakah ancaman terbesar dari panet kita pada abad ini…[yaitu] imperialisme Amerika Serikat yang membuat masa depan umat manusia dalam ancaman…Saya pikir, orang yang seharusnya membaca buku ini adalah saudara-saudari kita di Amerika Serikat, sebab ancaman itu tepat berada di dalam negeri mereka sendiri. Ya, setan itu tepat ada di sini. Baunya masih ada hingga kini..”

Ya, Chavez benar dengan menyatakan bahwa imperialisme AS mestinya dibongkar dan juga dipahami oleh masyarakat di dalam negerinya sendiri. Buku ini, meski tak ditujukan secara langsung, merupakan ‘jawaban’ dari keresahan Chavez tentang bagaimana mestinya warga negara Amerika Serikat memahami praktik jahat imperialisme negerinya sendiri.
Peringatan tentang pentingnya untuk mengaitkan antara imperialisme di luar negeri dengan realitas sosio-politik di dalam negeri pernah ditegaskan oleh filosof politik Hannah Arendt. Menurut Arendt, imperialisme di luar negeri tak akan bisa dikukuhkan dalam jangka waktu yang lama tanpa melakukan represi aktif, pembentukan pikiran publik dan politik tiranik di dalam negeri. Tetapi tesis Arendt itu mesti diperlengkapi dengan gagasan Althusser tentang aparatus ideologis negara (Ideological State Aparatusses) untuk memberi dasar bahwa faktor penting lain yang menyangga imperialisme adalah aparatus ideologis dalam bentuk lembaga pendidikan, media massa, serta institusi publik lainnya. Aparatus ideologis ini berfungsi untuk melegitimasi dan membuat imperialisme AS di luar negeri yang kejam dan brutal menjadi seakan-akan wajar dan dapat dibenarkan atas nama ‘ketertiban dan keteraturan’, demokrasi, hak asasi manusia, dan lain sebagainya.

A. Pendidikan Doktriner
Jika dirujuk pada tema-tema yang diangkat oleh Chomsky dalam buku ini, maka ada beberapa ‘aparatus ideologis’ yang digunakan oleh kelas berkuasa di AS untuk menanamkan hegemoni dan ideologi kelasnya pada seluruh warga negara Amerika Serikat sehingga nilai-nilai, pandangan hidup, dan sistem kapitalis diterima sebagai wajar dan normal. Jalur pertama dari aparatus ideologis yang digunakan adalah pendidikan. Di Amerika, jauh dari gambaran demokratis yang selama ini dicitrakan, pendidikan digunakan sebagai media untuk menanamkan kesadaran palsu, dan diciptakan sebagai institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mengindoktrinasi anak-anak muda.
Hal ini dilakukan sejak bangkitnya gerakan-gerakan kerakyatan yang menentang imperialisme, menuntut hak-hak sipil-politik, dan perlindungan ekonomi serta ekologi pada tahun 60-70an. Sebagai cara untuk membendung gerakan-gerakan rakyat itu, maka pemerintahan di AS mendirikan Komisi Trilateral yang berfungsi “untuk menanamkan kepatuhan, untuk menghalangi kemungkinan lahirnya pemikiran yang mandiri, dan [dengan demikian] sekolah memainkan suatu peran kepranataan (institutional role) dalam suatu sistem kontrol dan koersi”. Komisi Trilateral, menurut Chomksy, ini bertugas untuk mencari cara-cara yang efektif untuk mempertahankan hegemoni kapitalisme Barat dan dominasi elit-elit berkuasa sembari terus mengkondisikan agar kalangan kelas menengah yang terdiri atas ilmuwan, para profesional dan pakar, melalui suatu sistem penggajian terus-menerus mendakwahkan mitos tentang kebajikan nilai-nilai Amerika. Hasilnya, pendidikan di Amerika Serikat:

“Jauh dari pendidikan demokratik, apa yang sesungguhnya kita [Amerika Serikat] miliki ialah suatu model pendidikan kolonial yang dipercanggih yang dirancang terutama untuk mendidik guru-guru dengan cara-cara dimana dimensi intelektual pengajaran seringkali diabaikan. Tujuan utama dari pendidikan kolonial ini ialah untuk semakin melenyapkan keterampilan guru-guru dan siswa-siswa dan membuat mereka semakin pandai mengikuti secara otomatis labirin prosedur dan teknik…”

Pendidikan yang berwatak penjajah ini tentu merupakan hal yang sangat dimusuhi oleh Chomksy. Sebab menurutnya hakikat pendidikan mestinya adalah untuk menstimulasi ‘kesadaran kritis’ dan mengajarkan peserta didik untuk menemukan kebenaran bagi dirinya sendiri. Chomksy berpendapat bahwa hakikat pendidikan mestinya adalah bukan untuk menanamkan kepatuhan, melainkan untuk mendidik manusia dalam kemerdekaan, kesetaraan kebersamaan dan kerjasama, agar dapat mencapai tujuan-tujuan bersama yang telah disepakati secara demokratis. Dengan mengutip ungkapan indah Bertrand Russell, Chomsky menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang sejati mestinya adalah:

… untuk menghayati nilai-nilai selain dari dominasi, untuk menciptakan warga negara-warga negara dari suatu komunitas yang merdeka, untuk mendorong terciptanya suatu kombinasi antara kewarganegaraan yang bebas dan kreativitas individual…

Ada dua hal yang terjadi sebagai akibat dari pengingkaran atas pendidikan yang demokratik dan setara. Pertama, kalangan kelas menengah dan terdidik di Amerika Serikat tidak membiasakan dirinya dengan model pendidikan kritis yang berupaya membongkar segala macam kekuasaan dan hegemoni. Dengan bertumpu pada kemampuan teknik, maka model pendidikan di Amerika Serikat tak diajarkan untuk membangun kesadaran kritis, membongkar kekuasaan, dan membangun kemanusiaan. Kedua, dan sebagai akibat sampingannya, Amerika Serikat menjelmakan dirinya sendiri sebagai sebuah negara imperialis utama yang berhak untuk mendikte, mendisiplinkan dan ‘memperadabkan’ negara lain.
Model pendidikan doktriner dan tak demokratis yang bersenyawa dengan politik tiranik dan aristokratik yang telah tertancap-dalam pada dasarnya telah memiliki preseden yang lama dalam sekujur sejarah negeri itu. Amerika Serikat, menurut Chomksy, didirikan di atas protes-protes kaum buruhnya, penindasan terhadap masyarakat kelas bawahnya, serta penggantian demokrasi dengan aristokrasi. Permbajakan demokrasi oleh elit oligarkhis dan kapitalis sebenarnya telah diingatkan oleh Thomas Jefferson yang membedakan antara “kaum demokrat” dengan ‘kaum aristokrat”. Kaum demokrat, bagi Jefferson, “mengidentikkan dirinya dengan masyarakat, memercayai mereka, menghormati dan mendengarkan mereka sebagai pemangku kepentingan publik yang jujur dan bisa dipercaya”. Sementara kaum aristrokrat “mereka yang merasa takut dan tak percaya kepada masyarakat, dan ingin mengambil alih semua kekuasaan dari tangan mereka dan menyerahkannya ke tangan kelas-kelas atas” yang menjadi pendukung utama negara kapitalis.
Kultur politik di Amerika Serikat pada akhirnya memenangkan kaum aristokrat ini. Hal ini utamanya ditunjukkan oleh pandangan para elit dan teoretisi politiknya yang cenderung menghindari dan tidak menyukai gerakan-gerakan kerakyatan. Alexander Hamilton misalnya menjuluki gerakan-gerakan rakyat sebagai “binatang buas yang banyak jumlahnya” (the great beast). Robert Lansing juga menyebut gerakan buruh sebagai “massa manusia bodoh dan tak cakap”, dan atau teoretisi demokrasi yang termasyhur Walter Lippman yang menyebut massa rakyat sebagai “gerombolan liar”. Sehingga fungsi mereka hanyalah diperlukan sejauh sebagai penonton yang bersemangat dalam setiap kehidupan publik, bukan sebagai partisipan aktif. William Shepard lebih jelas mengartikulasikan hal ini dengan menyatakan bahwa pemerintahan mestinya berada di tangan aristokrasi akal dan kekuasaan, sementara gerakan-gerakan sosial dan massa-rakyat “yang bodoh, yang tak berpengetahuan dan anti-sosial” dilarang untuk terlibat dalam pengurusan politik dan pemerintahan.
Gabungan dari pendidikan yang doktriner dan politik tiranik itu pada akhirnya menghasilkan suatu tipe kultur sosial dan politik yang terjinakkan. Hal inilah yang memungkinkan ketiadaan perlawanan dari kalangan terdidik di Amerika Serikat. Malahan, tak mengherankan jika kalangan kelas terdidik ini justru berbondong-berbondong mendukung rejim kelas berkuasa yang secara rutin menyerukan demokrasi, hak asasi manusia, dan multilateralisme, dan bungkam seribu bahasa jika kelas berkuasa itu pula melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan demokrasi.

B. Rekayasa Sejarah dan Manipulasi Media
Kontrol dan penguasaan atas sumber informasi, media, dan pengetahuan diyakini merupakan elemen kekuasaan yang sangat berpengaruh hingga hari ini. Siapa saja yang menguasai atas aparatus ideologis itu dipercaya akan dapat menguasai kehidupan suatu negara. Di Amerika Serikat, penguasaan atas aparatus ideologis itu beriringan dengan penguasaan terhadap industri-industri penting di tangan segelintir elit yang juga menetek pada kekuasaan. Dan hasilnya adalah rekayasa sejarah yang didukung oleh praktik manipulatif dari media-media besar.
Praktik merekayasa sejarah dan manipulasi media ini di Amerika Serikat, seturut pengamatan Chomsky, mulai mengemuka dan bahkan dianggapnya sebagai ‘keahlian khusus’ Amerika Serikat sejak terlibat dalam Perang Dunia Pertama. Hal ini tampak sekali dalam kasus kampanye hitam dan pengutukan terhadap Sandinista serta pembelaan terhadap negara-negara teror yang didukung Amerika Serikat.
Dalam kasus Sandinista, Chomsky dan banyak intelektual kritis lainnya menyebut rejim Sandinista sebagai pemerintahan yang sedang mengerjakan pembaharuan pembangunan yang unik dan alternatif. Dalam sebuah wawancara, Chomsky menggambarkan Sandinista sebagai “sebuah rejim yang menggunakan sumberdaya mereka yang terbatas untuk rakyat miskin. Inilah mengapa angka melek huruf di Nikaragua meningkat tajam. Inilah mengapa angka kesehatan juga meningkat. Inilah mengapa reforma agraria berjalan, serta konsumsi bahan pangan dan subsistensi pangan di negeri itu meningkat”.
Namun, gambaran dari Chomsky dan para intelektual kritis itu berbeda terbalik dengan penguasa Amerika Serikat dan media massanya yang menggambarkan rejim Sandinista sebagai rejim teroris yang mendukung M-19 Kolumbia dalam aksi kejahatan di Pengadilan Kolumbia. Meski kedua negara (Nikaragua-Kolumbia) saling membantah dan meragukan tuduhan ini, tetapi pemerintahan Reagan merespon hal itu dengan mendukung Kontra (kelompok militer yang melawan rejim Sandinista) untuk menggulingkan pemerintahan Kiri tersebut. Untuk memprovokasi dan memanipulasi situasi ini, salah satu media massa tersohor, Times, misalnya menyatakan bahwa pemerintahan Amerika Serikat mestinya mengambil tindakan terhadap “pelanggaran moral Sandinista”, demi memajukan “demokrasi di Nikaragua yang komunis dan totalitarian”, sebab negara dianggap sebagai “ancaman keamanan bagi benua Amerika”. Hasil dari provokasi dan manipulasi media ini adalah munculnya tentara-tentara teror Kontra yang dibiayai dan didukung oleh Amerika Serikat untuk memicu perang melawan pemerintahan Nikaragua melalui aksi-aksi terorisme, pemerkosaan, pembantaian petani dan rakyat miskin, serta penyiksaan-penyiksaan keji.
Sementara praktik pembelaan membabi-buta terhadap negara-negara teror klien Amerika Serikat, seperti pada Israel dan El Salvador, juga dilakukan oleh sekumpulan elit intelektual dan media massa Amerika Serikat. New York Times misalnya menggambarkan Israel sebagai “simbol kebaikan manusia”. Padahal di sisi lain, pendudukan Israel di tanah Palestina telah mengakibatkan kekejaman dan kekerasan yang tiada taranya. Media massa-media massa besar juga membela kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina dengan menyebut bahwa tindakan kekerasan negara Israel memang diperlukan untuk menghadapi aksi-aksi perlawanan rakyat Palestina.
Praktik semacam ini, pengutukan terhadap negara-negara yang dimusuhi dan pembelaan terhadap negara-negara yang didukungnya, disebut oleh Chomsky berasal dari sebuah doktrin yang memiliki pola “marah luar biasa terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan musuh sambil memuja-muja setinggi langit terhadap ketinggian prinsip yang kita [Amerika Serikat] anut yang bercampuraduk dengan kemampuan yang luar biasa ‘untuk menutup mata’ terhadap kejahatan-kejahatan yang telah kita turut ciptakan”. Akibatnya, menurut Chomsky, kultur politik dan media massa di Amerika Serikat cenderung memiliki “perilaku membisu dan membenarkan diri atas kejahatan-kejahatan negaranya sendiri dan negara-negara kliennya”.

C. Kaum Intelektual dan Demokrasi Pasar
Proses pembentukan pikiran publik melalui propaganda dan doktrin untuk mengukuhkan kekuasaan kelas berkuasa di Amerika Serikat telah lazim digunakan. Tanpa ditopang oleh penguasaan atas pikiran publik, maka doktrin-doktrin kelas berkuasa tak akan bisa bertahan lama. Apa yang diperlukan oleh setiap kekuasaan, menurut Chomsky, adalah “mendikte setiap pikiran publik persis seperti halnya sebuah pasukan mendikte tubuh-tubuh dari tentara-tentaranya”. Dengan mengutip pengalaman Edward Bernays saat bekerja untuk Komite untuk Informasi Publik, Chomsky menunjukkan bahwa sejak Perang Dunia Pertama, Amerika Serikat telah terbiasa dengan upaya-upaya “menundukkan pikiran publik”, “merekayasa konsensus”, dan juga “memanipulasi secara terencana dan cerdas kebiasaan-kebiasaan dan opini-opini massa secara terorganisir”.
Upaya-upaya semacam ini tentu saja ditopang bukan hanya melalui propaganda-propaganda media belaka melainkan oleh kaum intelektual, seperti James Madison, agar gagasan dan doktrin tentang kekuasaan kaum kapitalis itu bisa memperoleh legitimasi dan bahkan landasan konstitusional di dalam negeri. James Madison yang merupakan intelektual politik dan presiden keempat AS, menurut Chomsky, memainkan peranan penting bagi peletakan batu alas bagi struktur politik yang kapitalis dan imperialis. Sebagai salah seorang perancang konstitusi AS, Madison menolak pengalaman Inggris dimana demokrasi memungkinkan masyarakat kelas bawah untuk merebut kembali tanah dari para tuan tanahnya. Madison berupaya untuk meletakkan dasar politik Amerika Serikat dengan mendukung suatu model sistem politik yang “melindungi minoritas orang kaya menghadapi kaum mayoritas” dan “kekuasaan politik harus berada di tangan orang-orang kaya di negeri itu”, sementara “lapis masyarakat yang lain harus dimarjinalisasikan dan dipecah-belah, agar tercipta partisipasi publik yang terbatas di wilayah arena politik”.
Hasil dari doktrin Masonian ini adalah diteguhkannya kekuasaan otoritarian yang menjadi dasar dari demokrasi pasar—sejenis demokrasi yang dikangkangi oleh kaum oligarkh dan korporasi bisnis dan digunakan untuk memperlempang kekuasaan mereka. Setelah konstitusi Masonian yang menopang kekuasaan kaum kapitalis ditegakkan, beberapa doktrin yang memiliki preferensi terhadap ‘pasar bebas’ diterapkan. Kaum intelektual di negeri itu mengamini tuntutan kaum industrialis Amerika Serikat yang menyerukan adanya “malapetaka yang mengancam kaum industrialis” dalam bentuk “kekuasaan politik massa rakyat yang baru terbangun.” Bersama-sama dengan kaum intelektual, “kaum industrialis ini harus menjalankan serta memenangkan perang yang tiada akhir memperebutkan pikiran-pikiran manusia” dan “mengindoktrinasi para warga negara dengan cerita kapitalis”. Beberapa dari suara-suara kaum industrialis dan intelektual itu utamanya ditujukan untuk mewaspadai bangkitnya kekuatan sosialisme di Amerika Latin.
Untuk menghambat proses itu, kaum intelektual, kalangan pebisnis dan negara imperial Amerika Serikat berupaya untuk menanamkan doktrin Washington Konsensus (neoliberalisme) dan demokrasi pasar, baik melalui serangkaian perjanjian struktural maupun melalui perang imperialis. Terhadap upaya ini, para editor jurnal ilmiah yang bergaris liberal mendukung dengan menyebut bahwa proses yang sedang terjadi pada dasarnya “kebangkitan kembali demokrasi di Amerika Latin”. Seorang intelektual lainnya malah menyebut bahwa perjanjian pasar bebas di Amerika Latin merupakan “proses bersejarah…sebuah alat yang potensial bagi demokratisasi”. Dukungan membuta kaum intelektual ini, bagi Chomksy, melalaikan fakta bahwa: demokrasi yang dimaksud adalah sejauh ia meniru model Amerika Serikat yang memberi keleluasaan pada kaum kaya; juga mengabaikan bahwa demokrasi seperti itu seringkali dibangun di atas perang dan teror terhadap kaum miskin; juga melupakan fakta bahwa demokrasi pasar berdiri di atas penderitaan kaum buruh, petani, dan kaum miskin lainnya yang semakin dihisap dan dieksploitasi.

Akhir
Salah satu poin pokok yang penting untuk diperhatikan dalam karya Chomsky ini, selain beberapa tema lain yang juga muncul dan tersebar, adalah kemampuannya membedah lebih dalam tiang-tiang penyangga imperialisme AS yang berupa aparatus ideologis seperti, lembaga pendidikan, media massa, intelektual dan demokrasi pasar (sistem politik yang berpihak pada kepentingan segelintir kaum kapitalis). Semua kekuatan ekstra-ekonomi (extra economic forces) ini adalah batu alas bagi teror imperialisme Amerika Serikat!.

Written by dian yanuardy

August 29, 2008 at 3:23 am

Posted in Budaya

Mereka yang Merebut Kembali Jalan Raya

with 6 comments

Mereka yang Merebut Kembali Jalan Raya
Dian Yanuardy

Pengemis, pengamen, penjaja koran, pedagang kakilima, anak jalanan di pinggir jalan raya kini semakin lazim dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Sebagaimana elemen-elemen sosial yang lain — seperti halnya polisi, pemilik rumah makan, pengendara motor dan mobil, atau perusahaan periklanan — mereka juga menjadikan keramaian jalan raya sebagai tumpuan utama kehidupan. Tak ada bedanya antara perusahaan periklanan yang memasang iklan-iklan besar dan menarik mata dengan pengamen yang melengkingkan suaranya. Tak ada bedanya antara polisi yang mencari sasaran tilang dengan penjaja koran yang mencari sasaran pembeli. Semua elemen itu sama dan tak bisa dibedakan. Dalam arti bahwa mereka sama-sama menggunakan jalan raya untuk mencari makan dan penghidupan.

Namun mengapa elemen yang pertama (pengemis, pengamen, penjaja koran, pedagang kakilima, anak jalanan), dalam leksikon ilmu sosial sekalipun, disebut dengan nada minor yaitu sebagai kaum miskin kota (lumpen proletariat)? Dan mengapa pula elemen yang kedua (polisi, pengusaha, dan mereka yang bermobil atau bermotor di jalan raya) disebut dengan sebutan terhormat: aparatus negara, pelaku ekonomi, atau pengguna jalan raya? Meski sama-sama menggunakan jalan raya, mengapa relasi di antara keduanya tak pernah setara? Mengapa yang disebut sebagai kaum miskin kota selalu terancam pengusiran? Mengapa para pengemis, penjaja koran, pedagang kakilima selalu didefinisikan sebagai pihak yang mengganggu ketertiban? Bagaimana ‘mestinya’ kita memandang kelompok ini?

Konstruksi MarginalitasRelasi yang tak setara semacam itu selalu dibangun dalam suatu konstruksi marginalitas. Bukan sesuatu yang terjadi secara alamiah. Konstruksi marginalitas itu dibentuk oleh suatu mekanisme kekuasaan yang beragam, dari kekuasaan ekonomi-politik hingga kuasa budaya. Sebagai hasil dari marginalitas dalam ranah ekonomi-politik, secara umum kaum miskin kota merupakan residu dari sistem ekonomi dan pembangunan yang berporos pada bias kota (urban bias) yang dimulai semenjak pasca Perang Dunia Kedua, yaitu semenjak berkembangnya model pembangunan yang mematok model modernisasi negara-negara Barat sebagai acuan. Strategi umum dari model pembangunan ini adalah mengutamakan pembangunan dan modernisasi yang bertumpu pada pertumbuhan dan pengembangan kota. Di beberapa negara yang sedang berkembang, akibat dari duplikasi kebijakan ini adalah munculnya gelombang migrasi ke kota secara massif. Alasan perubahan nasib, sempitnya peluang kerja di desa dan daya tarik industralisasi di kota menyebabkan migrasi ke kota bertambah dari tahun ke tahun. Gelombang migrasi inilah yang kemudian turut menyuburkan keberadaan kaum miskin kota.

Selain hasil dari urbanisasi dan modernisasi kota di awal abad 20, kaum miskin kota di Yogyakarta terbentuk dari sisa-sisa budak di masa kerajaan (orang-orang miskin, berpenyakit) dan urbanisasi. Situs-situs kaum miskin kota di Yogyakarta ini sebenarnya juga telah ada sejak jaman kolonial, seperti kelompok pemulung dan pengemis di bantaran Kali Code, kelompok lumpen proletariat di Badran, para pengemis dan penderita kusta di Mergangsan. Situs-situs kaum miskin kota ini tetap ada hingga kini. Mereka ini, selain tak memiliki tanah dan pekerjaan yang layak di sektor formal, juga tak memiliki akses terhadap rumah tinggal dan sarana pendidikan dan kesehatan yang layak. Secara ekonomi, politik dan kebudayaan, mereka adalah kelompok yang paling terpinggir di tengah arus modernisasi perkotaan yang semakin kencang.

Selain hasil dari proses ekonomi-politik, marginalisasi kaum miskin kota juga merupakan produk dari kuasa budaya yang didefinisikan oleh elit feodal maupun kaum kapitalis di Yogyakarta. Salah satu bentuk dari kuasa budaya ini adalah slogan, wacana dan norma-norma yang didefinisikan oleh elit feodal atau kaum kapitalis. Slogan-slogan seperti “Yogyakarta Kota Pariwisata” dan “Yogyakarta Berhati Nyaman”, misalnya terkandung di dalamnya suatu upaya untuk menjadikan kota Yogyakarta sebagai suatu kota yang ‘bersih’ dan ‘terbebas’ dari pedagang kakilima, pengamen jalanan, penjaja koran, dan anak jalanan. Wacana tentang “Jogja Never Ending Asia” juga berupaya menggabungkan antara kepentingan untuk membuat kota Yogyakarta ramah bagi investasi perdagangan dan pariwisata dengan kepentingan untuk ‘membersihkan’ kota Yogyakarta dari unsur-unsur yang dianggap berada di luar sistem wacana tersebut, seperti pengamen, pedagang kakilima, dan sebagainya.

Selain ‘dikeluarkan’ dari sistem ekonomi-politik dan budaya, kaum miskin kota ini juga kerapkali dilabeli dengan stigma-stigma negatif yang memperparah keberadaan mereka. Misalnya: pedagang kakilima dituduh sebagai pihak yang membuat kemacetan; anak jalanan dan pengemis seringkali dianggap sebagai diorganisir oleh sekelompok preman, dan dianggap sebagai kelompok yang sebenarnya memiliki penghasilan melimpah; pengamen dan penajja koran juga seringkali dianggap sebagai biang keruwetan, dan kesemrawutan lalu lintas kota.

Membongkar Mitos
Sekali lagi, kita akan gagal memahami kaum miskin kota jika kita tak memandangnya dari sudut pandang konstruksi marginalitas. Karena itu, daripada dipandang sebagai pihak yang melulu bersalah, berperilaku buruk dan jahat, kita mestinya menempatkan mereka sebagai ‘korban’. Korban dari apa? Korban dari paradigma pembangunan yang bertumpu pada industri dan modal besar, dan mengabaikan ekonomi rakyat. Korban dari kebijakan publik yang tak pernah melibatkan partisipasi mereka. Korban dari pengabaian seluruh partai politik tak pernah mendudukkan mereka sebagai subyek politik yang penting. Korban dari perencanaan ruang kota yang tak pernah berpihak pada mereka. Korban dari sistem budaya yang memojokkan dan memberi stigma buruk pada mereka.

Dengan memandangnya sebagai suatu konstruksi marginalitas, maka kita bisa melihat bahwa dalam sejarahnya kaum miskin kota dan gelandangan tak selamanya dipandang sebagai suatu yang buruk. Pada masa-masa feodalisme Jawa, gelndangan dan kaum marjinal dipandang seabagai ‘kaum nomad’ yang memiliki ciri-ciri yang mulia, ksatria, dan menyukai ilmu pengetahuan dn sastra. Bagi masyarakat di jaman feodal, kaum gelandangan seringkali dipuja sebagai satria lelana, yaitu kaum ksatria atau bangsawan yag memilih untuk mengembara karena alasan politik, ideologi atau menimba ilmu. Kaum gelandangan itu, diidentikkan dengan orang-orang suci yang memilih laku menyepi dari pergulatan kekuasaan yang kejam dan korup. Begitu pula pada jaman revolusi kemerdekaan, kaum gelandangan diidentikkan dengan laskar-laskar pejuang, dan diidentikkan sebagai agen-agen politik yang revolusioner. Beberapa dari gelandangan dan kaum miskin kota ini juga membuat laskar-laskar rakyat, dengan nama Laskar Kere, Laskar Pengemis, dan Laskar Grayak. Pada jaman ini, kaum miskin kota dan gelandangan memiliki status sosial yang terhormat, yaitu sebagai pejuang dan pembela masyarakat.

Namun status sosial yang terhormat itu menjadi luruh ketika Orde Baru berdiri dan pembangunan ekonomi dilancarkan, dan gagasan modernisasi digemakan. Di jaman pembangunan itu, kaum miskin kota dan gelandangan dipandang sebagai pihak-pihak yang harus dikendalikan, dikontrol dan dikuasai sesuai dengan selera kekuasaan. Akibatnya, norma-norma dan perilaku kaum gelandangan dan miskin kota yang dulu dihormati sebagai norma-norma yang berguna bagi masyarakat, menjadi suatu norma yang kini dicaci dan dimusuhi atau dipinggirkan.

Merebut Kembali Jalan Raya
Namun, selain mesti dipandang sebagai korban dalam suatu konstruksi marginalitas, kita juga harus melihat mereka sebagai suatu subyek politik dan agen budaya yang memiliki dinamika, perjuangan hidup, dan bahkan memiliki sumbangan-sumbangan penting dalam struktur sosial-politik kita. Meski ditundukkan, dikuasai, dan dipinggirkan oleh struktur sosial-ekonomi yang buas, namun bukan berarti mereka tak pernah melakukan perlawanan. Hanya saja perlawanan itu, tak selalu dilakukan dalam bentuk yang frontal, konfliktual, atau berwatak ideologis. Perlawanan itu, jika kita lihat secara detail dan seksama, dilakukan dalam praktik-praktik harian yang halus yang meluruhkan dan melarutkan sesuatu yang awalnya digunakan sebagai alat dominasi

Model perlawanan kaum marjinal semacam ini sudah ada presedennya dalam sejarah Indonesia. Dalam karya Rudolf Mrazek Engineers of Happy Land (2006), kita bisa menyaksikan perlawanan kaum marginal itu terjadi. Di awal abad ke 19, sebuah proyek raksasa yang berwatak Napoleonik, yaitu Jalan Raya Pos Deandels, dibangun di sepanjang utara Jawa, dari ujung barat hingga timur. Proyek jalan raya yang ambisius ini membawa kematian dan kelaparan yang besar di kalangan rakyat miskin Hindia Belanda. Proyek ini dibangun sebagai pertahanan untuk menghadapi invasi Inggris, juga sebagai sarana untuk memudahkan mobilisasi ekonomi, sosial dan kebudayaan orang-orang Belanda di masa itu. Dengan demikian, awalnya jalan raya dan juga rel-rel kereta api, dibangun untuk memenuhi kekuasaan kaum kolonial. Para pebisnis Eropa memakainya untuk mengirim hasil industrinya. Para bangsawan dan wanita Eropa menggunakannya sebagai media untuk plesir dan berbelanja di pusat-pusat kota. Para bangsawan pribumi lebih memakainya untuk berhubungan dengan atasan kolonialnya atau dengan sejawatnya.

Namun, dalam perkembangannya, justru rakyat kecil yang paling banyak menggunakan jalan raya dan rel kereta api. Mereka memberi makna berbeda pada jalan raya dan kereta api yang awalnya berada dalam kuasa kaum kolonial. Menyadari bahwa rakyat pribumi mulai ‘menguasai’ jalan raya dan kereta api, pemerintah kolonial menerapkan aturan yang berwatak rasis. Namun, aturan itu telah terlambat. Lambat laun, kereta api dan jalan raya menjadi sarana bagi kaum pergerakan pribumi untuk mengkonsolidasikan kekuatannya. Jalan raya yang awalnya berguna untuk mengukuhkan dominasi dan koloni kaum penjajah, berubah menjadi jalan raya yang berguna sebagai sarana untuk mengkonsolidasikan kekuatan sang terjajah untuk mengusir penjajahnya. Jalan raya, bagi Mrazek, menjadi sebuah titik-titik permulaan bangkitnya suatu negara-bangsa yang kelak disebut Indonesia.

Hari ini, secara perlahan-lahan kita menyaksikan kaum marjinal kembali menyemuti jalan-jalan raya. Mereka mengisi jalan raya dengan nyanyian, acungan tangan, teriakan, dan kadangkala tatapan tajam dan ancaman. Secara perlahan-lahan, mereka merebut kembali jalan raya dari kaum pemodal, kalangan bermotor dan bermobil, dan aparatus negara dengan mengacuhkan norma, aturan dan sistem yang belaku. Seribu kali pun penggusuran dilakukan, tak akan pernah menghalangi mereka untuk merebut kembali jalan raya.

Karena itu, bagi saya, mereka adalah agen kebudayaan dan politik yang penting. Kemampuan kaum marjinal merebut, menduduki, dan memberi makna baru pada jalan raya patut dipelajari oleh gerakan mahasiswa yang semakin kehilangan visi dan imajinasi. Mengambil istilah Gilles Deleuze dan Felix Guattari, saya percaya bahwa kaum yang merebut kembali jalan raya ini adalah ‘kaum nomad’ yang tak suka pada pijakan yang baku, dan yang tak memiliki ‘ruang tinggal’ yang baku dan teratur. Bagi saya, mereka telah menyebarkan benih-benih ‘pikiran-pikiran nomadik’ (nomadic thought), yaitu suatu gagasan dan pemikiran yang tak pernah terikat pada sumber-sumber dan sistem otoritas tertentu. Pikiran-pikiran nomadik yang berupaya menggoncang kemapanan, menghancurkan basis-basis otoritas, dan mengajak kita untuk tak pernah puas dengan kemapanan.[]

Written by dian yanuardy

January 29, 2008 at 3:59 am

Posted in Budaya